Minggu, 28 September 2008

“ SEMUT”

( Oleh: Wiro Suba )

Sore itu dengan semangat 45 aku berjalan ke teras belakang rumahku. Ada satu pekerjaan yang menanti disana,

“ Semut! “.

“ Semut yang harus ku basmi!” Rutuk ku dalam hati.

Sudah dua kali ini aku merasa terganggu oleh keberadaan mereka. Semua berawal dari sepatu. Di suatu pagi saat aku akan berangkat ke tempat kerja, dengan sangat nyamannya mereka menjadikan sepatuku sebagai tempat bercengkrama. Ratusan atau mungkin ribuan semut yang sedang mengadakan “rapat akbar” didalam sana. Entah atas dasar pertimbangan apa mereka memilih sepatuku sebagai tempat bersarang. Apakah mungkin karena kelembaban dan “harumnya” yang mengundang?

“(Upss!?).”

Ataukah memang itulah tempat terbersih yang bisa mereka temukan dan sangat representatif untuk membesarkan koloni mereka?

“(Ini yang paling tepat rasanya) Hahaha….”

Kejadian kedua yang memaksaku harus bersinggungan dengan mereka adalah peristiwa yang berhubungan dengan…….SEPATU lagi! Kali ini dengan sangat yakin dapat aku katakan--tanpa maksud membela diri—bahwa sepatu yang satu ini benar-benar bebas dari bau dan benar-benar bersih! (Loh, kalau gitu sepatu yang pertama tadi?!). Di tempat pilihan mereka yang kedua ini malah mereka sudah sempat bertelur dan beranak pinak!

“Tidak bisa didiamkan!” Seruku sambil berjalan layaknya seorang panglima perang. Istriku hanya bisa tertawa melihat kelakuanku.

“Itu mah salahnya sendiri…” Sayup-sayup kudengar dia berbisik.

Dengan gemas kuambil obat pembasmi serangga yang ada disudut ruang dapurku. Sambil menggenggam “senjata pamungkas” aku dengan pasti melangkah ke satu tujuan, yaitu: LEMARI SEPATU! Dari situlah semua ini berasal.

Senyum kemenangan tersungging dibibirku. Tuntas sudah hasrat purbaku. Dengan membabi buta aku telah melaksanakan “penyerangan” ke kantong-kantong pertahanan “lawan”, bahkan mungkin “Markas Besarnya” sudah kuhancurkan sekaligus. Kututup kembali pintu lemari sepatuku. Mantap, aku melangkah meninggalkan “medan pertempuran”. Ku letakkan alat pembasmi serangga yang telah membantuku.

“Kegiatan selanjutnya,” kataku dalam hati.

Sudah menjadi kebiasaan rutin di sore hari, bila tidak ada acara khusus, setiap sore aku sempatkan untuk melaksanakan olah raga ringan di belakang rumah.

Aku ambil alat olah ragaku. Masih dengan senyum kepuasan, aku dudukkan tubuhku di atas bangku plastik yang dengan setia selalu menjadi tumpuan.


“Allahu Akbar!”

Aku terusik oleh pemandangan didepanku!

“Ya Allah, apa yang telah aku perbuat?

Terlihat kepanikan yang luar biasa! Semut-semut hitam berlarian kesana kemari! Makhluk-makhluk kecil itu berusaha keluar dari kematiannya! Banyak diantara mereka yang berjalan terhuyung-huyung, jatuh bangun, susah payah, terseok-seok berjalan sekedar menghirup udara segar untuk menyambung hidup. Tidak terhitung pula yang langsung jatuh sekarat begitu mereka keluar dari lemari sepatu.

“ASTAGFIRULLAH…” Begitu dahsyatnya akibat yang telah ku timbulkan dari ke sombonganku, kebodohanku dan ketidakpedulianku terhadap makhluk lain, padahal mereka pun memiliki hak hidup yang sama dengan kita.

Tidak terasa tubuhku bergetar.

Hilang sudah kebanggaan yang tadi tersemat.

“Andaikan aku bisa mendengar suara mereka merintih….”

Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Sesak oleh penyesalan yang teramat dalam. Inikah yang disebut Khalifah? Tugas yang teramat mulia yang dipercayakan oleh Allah SWT kepada manusia. Tidakkah seorang Khalifah seharusnya membawa kebaikan kepada makhluk lain yang ada dibumi ini? Tidak perduli apapun jenisnya, apapun bahasanya dan apapun bentuknya?

Diriku terasa kerdil. Aku yang menyandang predikat sebagai makhluk yang berakal budi ternyata tidak lebih dari pembawa bencana bagi makhluk lain.

Sedangkan SEMUT, makhluk kecil yang sering kali tidak kita perdulikan, banyak sekali memberikan contoh kehidupan kepada kita. Didalam menghadapi nafsu membunuhku, mereka masih sempat membawa telur-telur mereka menjauh dari “ladang pembantaian” yang aku ciptakan. Mereka tidak memikirkan diri sendiri didalam menyelamatkan kehidupannya. Belum lagi loyalitas mereka kepada pemimpinnya. Pemimpin semut yang terhuyung huyung akibat racun serangga, mereka gotong bersama-sama dan dibawa ketempat yang lebih aman. Para pioneer yang sudah lebih dulu selamat dan menemukan tempat yang aman juga tidak serta merta melupakan kawan-kawannya, mereka kembali lagi kepada koloninya untuk memberitahu letak tempat tersebut. Mereka dikenal sebagai makhluk yang cinta damai, hidup rukun dalam satu masyarakat yang besar. Serta memiliki kekuatan yang lebih besar dari kita (mereka memiliki kekuatan untuk mengangkat beban sekitar 5x dari berat tubuhnya). Makhluk yang memiliki etos kerja yang tinggi serta professional. Semut pekerja akan terus bekerja, prajurit semut menjaga koloninya dan sang ratu semut tetap pada tugasnya memperbanyak keturunan. Prilaku yang sangat professional!

“Subhanallah, Maha Suci Allah!”

Hati ini semakin teriris lagi begitu menyaksikan ratusan atau mungkin ribuan semut yang mati terkapar dan sisanya yang masih menggelepar! (Bayangkan, sekian banyak nyawa semut yang hilang gara-gara seorang manusia.)

Sebagian dari semut-semut yang selamat berjalan cepat hilir-mudik menghampiri rekan-rekannya yang sekarat. Mungkin kurang lebih mereka membisikkan:

“ Bersabarlah hai kawan., berdzikirlah kepada Allah…”

Mungkin mereka terus berdzikir, karena bukankah ajal mereka akan tiba bila mereka putus berdzikir kepada Allah?

Pikiran ini kembali menerawang, “pantas bila semut termasuk salah satu diantara tiga binatang yang haram hukumnya untuk dibunuh.”

“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Astagfirullah…”

“Ya Allah, ampuni hamba ya Allah, ampuni hamba ya Allah, ampuni hamba ya Allah.” (wr)


(Tulisan ini sudah pernah dimuat pada majalah Antariksa Lanud Sultan Hasanuddin)
ClixMX.com